Kisah-kisah di Balik Sambal Bebiniq (Bagian 1)
Radiobintangtenggara.com, WONGSOREJO – Para perempuan di Kampung Bongkoran, Banyuwangi, Jawa Timur, yang memproduksi Sambal Bebiniq tidak hanya bekerja di sektor pertanian dan berkutat dengan urusan domestik. Mereka aktif berjuang untuk mempertahankan tanah pertanian seluas 220 hektar yang kini sedang terancam untuk pembangunan industri.
Paijah, salah satu anggota kelompok usaha Sambal Bebiniq, mengatakan, sebelum terancam pembangunan industri, tanah mereka dialihkan menjadi Hak Guna Usaha perkebunan kapuk. Namun, setelah izin HGU habis, justru terbit izin Hak Guna Bangunan untuk industri.
“Tanah ini sudah ditempati turun-temurun. Kami tetap menuntut agar pemerintah memenuhi hak kepemilikan atas tanah kami,” kata Paijah, akhir pekan lalu.
Untuk Pada 2015, sekitar 200 petani perempuan Kampung Bongkoran, kemudian membentuk Organisasi Petani Perempuan Wongsorejo Banyuwangi (OP2WB). Dalam organisasi inilah, para perempuan itu kemudian belajar banyak hal. Mulai soal mengelola organisasi, hukum dan agraria.
Konflik selama 20 tahun itu berdampak luas pada kehidupan sosial dan ekonomi para perempuan di Kampung Bongkoran. Setelah tanah petani dialihkan sebagai HGU perkebunan pada 1980an, petani susah bertanam. Akibatnya, sebagian besar warganya bertransmigrasi ke Kalimantan dan bekerja ke kota-kota besar seperti Surabaya, Bali dan Jakarta.
Bahkan sejumlah petani perempuan pun menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Muzayanah, 37 tahun, salah satunya. Perempuan yang memproduksi Sambal Bebiniq varian ebi itu, pada 1998 pernah ke Saudi Arabia sebagai pembantu rumah tangga. Selesai kontrak di Saudi Arabia selama 3 tahun, Muzayanah kembali berangkat menjadi TKW ke Malaysia.
Dia baru pulang kampung sekitar 2005, lalu menikah dan kini memiliki dua anak.
“Setelah berhenti menjadi TKW, kondisi kampung halaman ternyata tetap sama seperti saat saya tinggalkan dulu,” kata perempuan lulusan sekolah dasar ini.
Boini, yang menjadi ketua kelompok usaha, pernah enam tahun menjadi TKW di Taiwan. Dia memilih pergi ke luar negeri bersama dua saudara kandung, karena tidak ada pekerjaan di kampungnya.
“Mau kerja apa di kampung? Untuk menanam saja, keluarga saya kesusahan,” kata ibu, 37 tahun ini.
Sama dengan Muzayanah, Boini pergi ke Taiwan pada 1998. Di sana dia bekerja selama tiga tahun. Setelah kontrak selesai, Boini pulang untuk mengurus dokumen kontrak, lalu pergi ke Taiwan kembali.
Dua tahun bekerja di perkebunan teh, Boini melarikan diri karena beban pekerjaannya terlalu berat. Dia lalu pulang ke kampung untuk mengurus dokumen kerja baru. Boini pun memalsukan identitasnya agar tidak terlacak di Imigrasi Taiwan.
Boini lolos di pemeriksaan Imigrasi dan bisa bekerja selama setahun. Namun setelah itu, identitas aslinya terbongkar. Ia ditangkap oleh petugas dan divonis enam bulan penjara.
“Tapi saya hanya menjalani tığa bulan penjara karena diperbantukan sebagai penerjemah. Setelah itu saya dideportasi dan tidak bisa lagi masuk ke Taiwan,” kata perempuan 37 tahun ini.
Boini bersama 14 perempuan lain kini sedang merintis usaha Sambal Bebiniq, yang diperkenalkan ke publik pada Senin 27 Agustus lalu. Bahan baku sambal itu diperoleh dari panenan cabai-cabai di sekitar mereka. Ada tiga varian Sambal Bebiniq yang bisa dinikmati yakni teri, ebi dan terasi.
Sebelum memproduksi Sambal Bebiniq, Organisasi Perempuan Petani Wongsorejo terlebih dahulu mendapatkan pelatihan usaha dari Asosiasi Produsen Pangan Olahan Banyuwangi (Aspoba), penyuluhan keamanan pangan dari Dinas Kesehatan, dan pelatihan jurnalisme warga. Kegiatan tersebut bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) yang berpusat di Jakarta melalui Program Citradaya Nita 2018. (Adv-Riz)