Pergantian Pucuk Pimpinan PDIP Banyuwangi Apakah Ada Bayang-Bayang Rekayasa Elite?
Pergantian Pucuk Pimpinan PDIP Banyuwangi Apakah Ada Bayang-Bayang Rekayasa Elite?

Pergantian Pucuk Pimpinan PDIP Banyuwangi Apakah Ada Bayang-Bayang Rekayasa Elite?

BINTANGTENGGARA – Suasana di salah satu ballroom hotel berbintang di Surabaya mendadak tegang. Pleno penutupan Konferensi Cabang (Konfercab) DPC PDI Perjuangan Banyuwangi hendak mengumumkan susunan pengurus baru. Saat nama Ana Aniati dibacakan sebagai Ketua DPC terpilih, menggantikan I Made Cahyana Negara yang telah memimpin 11 tahun, sebuah aksi teatrikal pun terjadi. Satu per satu, puluhan perwakilan dari sejumlah Pengurus Anak Cabang (PAC) berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan.

Aksi walk out itu adalah protes nyata, dentuman pertama dari gempa politik yang kini menggoyang partai berlambang banteng moncong putih di salah satu basis terkuatnya di Jawa Timur. Insiden di Surabaya itu bukan sekadar drama sesaat. Ia adalah puncak gunung es dari ketegangan antara aspirasi kader akar rumput dengan keputusan struktural dari pusat.

Di balik hiruk-pikuk penolakan hampir 22 dari 25 PAC itu, berhembus kencang sebuah rumor yang sulit diabaikan: benarkah pergantian ini adalah hasil campur tangan “Sang Raja” Banyuwangi, sosok yang jejaring dan pengaruhnya di wilayah Using ini dianggap serba bisa dan siapakah sesungguhnya raja tersebut.

Untuk memahami besarnya gejolak, kita harus melihat sosok yang digantikan. I Made Cahyana Negara bukanlah ketua DPC biasa. Sejak 2014, pria yang karib disapa Made ini telah menjadi nahkoda PDIP di Banyuwangi. Di bawah komandonya, partai ini konsisten merajai perolehan kursi di DPRD Kabupaten Banyuwangi.

Made adalah figur yang dibangun dari bawah, memahami betul denyut nadi politik di setiap kecamatan. Dukungan mayoritas PAC padanya sebelum Konfercab adalah bukti legitimasi yang ia punya dari basis.

“Made adalah perekat. Dia paham bahwa politik di Banyuwangi tidak hanya tentang logistik partai, tapi juga tentang kultur, tentang rasa. Menggantikannya secara tiba-tiba bukan soal orangnya, tapi soal memutus mata rantai komunikasi dengan basis yang telah dibangun bertahun-tahun ” ujar Mistaye, seorang kader senior PDIP Banyuwangi.

Dukungan untuk Made pupus seketika setelah surat keputusan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan dibacakan, menetapkan Ana Aniati sebagai pilihan akhir. Keputusan ini, bagi banyak PAC, terasa seperti pukulan telak terhadap mekanisme penjaringan dan usulan yang telah mereka lakukan.

“Jika keputusannya sudah dari sana, buat apa kita dimintai aspirasi?” protes Wahyu Nugroho, Sekretaris PAC Genteng, mewakili suara mayoritas yang kecewa, Minggu (21/12/2025).

Lantas siapakah Ana Aniati yang dipercaya DPP melompati hierarki dan popularitas kader senior?

Perempuan yang kerap disapa Ana ini termasuk wajah baru di panggung kepemimpinan struktural PDIP Banyuwangi. Sebelumnya, ia menjabat Wakabid Ekonomi Kreatif, Ekonomi Digital, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga.

Latar belakangnya memang menarik: seorang aktivis kampus yang getol menyuarakan isu terkini, dengan jejaring organisasi seperti IPPNU, PMII, dan Muslimat NU. Ia juga pernah menjadi calon legislatif pada 2019.

Namun, di mata para pengurus PAC yang sehari-hari berhadapan dengan konstituen, kapabilitas administratif dan rekam jejak perjuangan di lapangan dianggap lebih crucial daripada latar belaktivisme tertentu.

“Kami butuh pemimpin yang sudah teruji mengelola konflik internal dan paham peta politik riil di 25 kecamatan, bukan sekadar piawai beretorika,” tutur Bendahara PAC Srono, Slamet Santoso atau yang kerap disapa Mbah Geger.

Di sinilah rumor tentang “campur tangan raja” menemukan ruangnya. Dalam politik lokal Indonesia, raja atau juragan sering merujuk pada sosok pemilik modal besar, pengusaha, atau elite lokal yang pengaruhnya melampaui batas-batas formal birokrasi dan kepartaian. Mereka memiliki jaringan yang dalam, mulai dari birokrasi hingga tokoh-tokoh yang menjadi penggerak masyarakat.

Pertanyaannya, apakah mungkin seorang raja Banyuwangi bisa memengaruhi keputusan DPP PDIP di Jakarta? Secara teknis, sangat mungkin. Politik adalah seni hubungan dan transaksi. Seorang elite dengan akses dan sumber daya finansial yang besar bisa melakukan lobbying hingga ke tingkat pusat partai, mendorong nama yang dianggap sejalan dengan kepentingannya.

“Ini bukan hal aneh. Perebutan kursi ketua DPC di daerah sekuat Banyuwangi selalu melibatkan tarik-ulur kepentingan multi-level, dari lokal hingga nasional. Seorang ‘raja’ lokal dengan koneksi ke petinggi partai di Jakarta bisa menjadi game-changer,” kata salah satu pengamat politik Banyuwangi.

Namun, klaim langsung tentang intervensi tersebut sulit dibuktikan. PDI Perjuangan, sebagai partai yang sangat hierarkis dengan otoritas kuat di tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, akan selalu menyatakan bahwa keputusannya murni berdasarkan evaluasi internal dan untuk kebaikan partai.

Apa konsekuensi dari konflik ini? Pertama, konsolidasi terancam. Konflik internal yang meluas dapat melemahkan kohesi, mengganggu mobilisasi, dan pada akhirnya menggerogoti suara.

Kedua, legitimasi kepemimpinan Ana Aniati akan terus dipertanyakan oleh sebagian besar struktur di bawahnya. Ia mungkin memimpin secara formal, tetapi tanpa dukungan penuh dari PAC, efektivitas kepemimpinannya diragukan.

Ketiga, dan ini yang paling berbahaya, munculnya kekecewaan massal di basis kader. Kader di tingkat ranting dan PAC adalah ujung tombak partai. Jika mereka merasa suaranya tidak didengar dan diabaikan oleh pusat, bisa muncul apatisme atau bahkan pembangkangan pasif dalam setiap agenda partai. Dalam jangka panjang, ini bisa membuat benteng PDIP di Banyuwangi retak dari dalam.

Dilema yang dihadapi PDIP di Banyuwangi adalah klasik dalam politik partai: tegangan antara keinginan pusat untuk meregenerasi dan mungkin menancapkan kepentingan baru, dengan tuntutan akar rumput yang menginginkan pemimpin yang mereka kenal, percayai, dan pilih sendiri.

Isu “campur tangan raja” mungkin hanya menjadi narasi pengiring yang sensasional, namun ia menyiratkan ketidakpercayaan terhadap transparansi dan keadilan proses suksesi. Konflik ini pada akhirnya bukan sekadar tentang Ana Aniati versus I Made Cahyana Negara.

Ini adalah ujian bagi PDI Perjuangan Banyuwangi, mampukah partai besar ini merawat demokrasi internalnya di tingkat cabang, sekaligus menjaga kesetiaan kader-kader terbaiknya yang telah membesarkan nama partai di daerah?.

Jawabannya akan menentukan apakah Banteng di Bumi Blambangan akan tetap mengaum lantang, atau hanya terdengar lirih oleh saringan konfliknya sendiri. (Asr)

About Bintang Tenggara

Check Also

Konser Kemanusiaan Band Kotak Jadi Puncak Harjaba 2025

Konser Kemanusiaan Band Kotak Jadi Puncak Harjaba 2025

BINTANGTENGGARA – Puncak peringatan Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) ke-254 dimaknai Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dengan menggelar …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *