Foto : Instagram Bathara Saverigadi Dewandoro @batharasd

Begini Asal Usul Tarian Gandrung Lanang Bermula

Oleh: Mas Aji Wirabhumi – Blambangan Kingdom Explorer

Guna menarik rakyat yang simpati dan setia pada Wong Agung Wilis, Bapa Endha/Keboundha mempropagandakan bahwa Mas Rempeg telah dirasuki ruh Agung Wilis. Dengan itu, maka seruan Mas Rempeg agar seluruh penduduk Blambangan mau berjuang bersamanya di Bayu disambut dengan sangat antusias. Bahkan desa-desa di Sentong/ Bondowoso sampai kosong karena ditinggalkan oleh penduduknya ke Bayu.

Propaganda berhasil menggalang rakyat Blambangan berbondong-bondong menyusul ke hutan Bayu. Prosesi pengumpulan rakyat sisa-sisa pengikut Agung Wilis ini juga dilakukan dengan hiburan rakyat berupa tari-tarian yang dilakukan oleh para lelaki. Kemudian tarian itulah yang kini menjadi Tari Gandrung khas Banyuwangi.

Diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu dalam Suluk Balumbung, sedikit tentang tari-tarian yang dilakukan para lelaki untuk mengumpulkan orang-orang desa, guna diajak ke Bayu sebagai penggalangan masa persiapan Perang Bayu 1771. Tari-tarian itulah yang kemudian menjadi Kesenian gandrung Banyuwangi. Cerita yang sekilas itu klop jika dibandingkan dengan catatan Belanda yang ditulis oleh Joh Scholte dalam Gandroeng Van Banyuwangi 1926, berikut:

“Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong.”

Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang).

Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh rakyat Blambangan sisa-sisa perang Wilis 1767-1768 saat kompeni merebut Blambangan.

Jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau dibuang oleh Kompeni tak terkira jumlahnya. Mayat yang bergelimpangan dimana-mana sampai membuat para pedagang antar pulau tidak mau berlabuh di Blambangan karena mayat-mayat itu menjadi penyebar penyakit Kolera.

Sisanya yang hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua. Dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain.

Saat itulah, Mas Rempeg mengijinkan upaya aneh yang dilakukan para lelaki dengan berdandan seperti wanita untuk menari keliling desa-desa guna mengumpulkan sisa-sisa lelaki yang masih hidup, agar mau ikut bergabung ke Bayu.

Di desa-desa, setelah usai pertunjukan gandrung, para lelaki itu menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada para pengungsi lainnya di Bayu.

Usaha itu berhasil dan tidak menimbulkan kecurigaan kompeni dan rakyat berbondong-bondong ke Bayu. Bahkan dari Teluk Pampang dan Sentong sampai habis penduduknya ikut ke Bayu. C. Lekerkerker dalam Blambangan Indische Gids II, mengatakan bahwa saat itu Asisten Residen, Hendrick Schophoff segera membujuk rakyat agar tidak pergi ke Bayu, namun usaha itu sia-sia. Justeru semakin banyak rakyat yang berbondong-bondong ke Bayu.

Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian Gandrung ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan bersama Mas Rempeg ikut angkat senjata melawan penjajahan Kompeni.

Sumber Bacaan:
~ Suluk Blambangan
~ Samsubur. 2011. Sejarah Kerajaan Blambangan
~ C. Lekerkerker. 1923. Blambangan Indische Gids II
~ Joh Scholte. 1926. Gandroeng Van Banyuwangi
~ Makalah Hari Jadi Banyuwangi

About Rima Indah

Check Also

Heru Prayito, Kepala MI Baburrohmah Kalibaru (42) menceritakan kronologi saat ia bersama guru lainnya menemukan korban. (Foto. Rendra Prasetyo)

Kepala Sekolah MI Baburrohmah Kalibaru Bercerita Saat Menemukan Korban Meninggal Dunia di Kebun Sengon

Heru Prayito, Kepala MI Baburrohmah Kalibaru (42) menceritakan kronologi saat ia bersama guru lainnya menemukan korban hingga akhirnya dikabarkan meningal dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *