BANYUWANGI, RBT – Demokrasi bukan hanya soal mencoblos lima menit di balik suara, jauh sebelum tinta ungu mengering di jari, demokrasi hidup dalam cara warga berdialog, berbeda pendapat, hingga bersepakat. Itulah esensi “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang menempatkan partisipasi warga sebagai jantung pengambilan keputusan baik langsung maupun melalui wakil yang dipilih.
Sering kali kita mendengar kata demokrasi, lantas apa arti dari demokrasi tersebut, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dengan keputusan diambil secara langsung atau melalui perwakilan.
Demokrasi memiliki inti kesetaraan hak dan kewajiban, serta perlakuan adil bagi semua warga negara. Demokrasi tidak hanya menuntut mekanisme pemilu yang jujur dan adil, tetapi juga menjamin ruang kebebasan berpendapat, transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan atas hukum.
Dikutip dari berbagai sumber, sejumlah tokoh merumuskan demokrasi dari sudut pandang berbeda, namun saling melengkapi:
Abraham Lincoln menyebut demokrasi sebagai “pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” menegaskan partisipasi warga sebagai fondasi.
Winston Churchill menyindir demokrasi sebagai “sistem terburuk kecuali semua yang pernah dicoba,” mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan tanpa cacat—namun alternatifnya lebih buruk.
Robert Dahl menekankan kesetaraan hak suara dalam pengambilan keputusan kolektif atas perkara publik.
Joseph Schumpeter menyoroti proses pemilihan sebagai mekanisme kunci untuk menentukan siapa yang memegang tampuk kepemimpinan.
Perjalanan demokrasi Indonesia dinamis, mencerminkan tarik-menarik zaman dan tantangan kebangsaan:
Demokrasi Parlementer (1945–1959): Masa awal kemerdekaan, ketika kabinet bertumpu pada dukungan parlemen.
Demokrasi Terpimpin (1959–1965): Arah politik dipusatkan pada kepemimpinan nasional, dengan ruang kontestasi yang kian menyempit.
Demokrasi Pancasila Era Orde Baru (1966–1998): Stabilitas dan pembangunan ditekankan, namun kompetisi politik dibatasi.
Demokrasi Pasca-Reformasi (1998–sekarang): Reformasi membuka ruang lebih luas bagi kebebasan, partisipasi, dan pelembagaan pemilu yang lebih terbuka.
Di balik fase-fase itu, gagasan para pendiri bangsa terutama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir serta nilai gotong royong dan kekeluargaan memberi corak khas pada demokrasi Pancasila: musyawarah, mufakat, dan kepentingan bersama.
Dikehidupan kita sehari-hari cerminan demokrasi paling terasa ketika warga ikut menentukan arah kebijakan, contohnya:
Pemilihan umum: Warga memilih presiden, kepala daerah, hingga wakil rakyat sebagai amanat kedaulatan.
Partisipasi lokal: Forum musyawarah desa/kelurahan, rapat warga, atau sidang dewan menjadi wadah menyuarakan kebutuhan publik.
Kebebasan berbicara & berkumpul: Demonstrasi damai, diskusi terbuka, dan media independen memungkinkan beragam gagasan bertemu.
Petisi & aspirasi: Warga mengajukan usulan atau keberatan kepada pemerintah atas isu spesifik.
Pengambilan keputusan kolaboratif: Di sekolah, organisasi, tempat kerja, hingga keluarga diskusi dan voting membiasakan budaya setara.
Demokrasi bukan tujuan akhir, melainkan proses yang dirawat terus-menerus. Ia menuntut warga yang melek informasi, lembaga yang transparan, dan pemimpin yang akuntabel. Tanpa partisipasi, demokrasi mudah kosong tanpa keadilan, demokrasi mudah timpang. (Asr)