Menimbang Ulang Jembatan Jawa–Bali, Di Antara Gelombang dan Keyakinan
Menimbang Ulang Jembatan Jawa–Bali, Di Antara Gelombang dan Keyakinan

Menimbang Ulang Jembatan Jawa–Bali, Di Antara Gelombang dan Keyakinan

BANYUWANGI, RBT – Pagi di ufuk Selat Bali tampak memesona. Cahaya mentari menari di atas ombak yang belum reda. Namun, di balik keindahan itu, luka masih membekas. Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya bukan sekadar menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga kembali memantik wacana lama yaitu pembangunan jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Bali.

Bagi sebagian kalangan, gagasan pembangunan jembatan di Selat Bali terdengar menjanjikan. Jembatan tersebut dinilai mampu meningkatkan konektivitas antarwilayah, mempercepat distribusi logistik, memperlancar arus wisatawan, serta menjadi solusi untuk mengurangi kecelakaan laut yang kerap menimbulkan korban jiwa dan kerugian baik materiil maupun immateriil.

Namun, suara lain muncul dari masyarakat Bali. Berdasarkan berbagai sumber, wacana tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap keseimbangan sakral yang selama ini dijaga. Penolakan yang disampaikan masyarakat Bali pun hadir dengan nada halus, tapi tegas.

Bagi masyarakat Hindu Bali, pemisahan geografis antara Jawa dan Bali bukanlah kebetulan belaka. Sebuah legenda leluhur menyebutkan bahwa Dang Hyang Sidhimantra, tokoh spiritual suci, pernah membelah daratan demi melindungi Pulau Dewata dari pengaruh luar. Batas alam itu diyakini sebagai pesan dan peringatan.

Gagasan jembatan Jawa–Bali sejatinya bukan hal baru. Pada tahun 1960, almarhum Prof. Dr. Ir. Suyatno dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengusulkan proyek lintas-pulau bernama Tri Nusa Bimasakti, yang menghubungkan Sumatera, Jawa, dan Bali. Namun lebih dari enam dekade kemudian, ide tersebut masih tersekat oleh gelombang tantangan teknis—dan gelombang kultural yang jauh lebih kuat.

Tragedi di Selat Bali kembali membuka lembaran lama. Tahun 2023, KMP Gerbang Samudera 2 tenggelam pada 17 September dengan manifest 114 penumpang, termasuk 27 warga asing. Kapal berangkat dari Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, namun mesin mati 700 meter sebelum dermaga dan kapal pun karam.

Sebelumnya, pada 29 Juni 2021, KMP Yunice yang mengangkut 41 penumpang dan 12 anak buah kapal (ABK) tenggelam karena terbawa arus laut ke selatan. Tahun 2018, KM Multi Prima 1 yang membawa 14 ABK tenggelam di utara Sumbawa. Sebagian diselamatkan, namun tujuh lainnya dinyatakan hilang.

Tragedi lain terjadi pada 4 Maret 2016 saat KMP Ravelia 2 karam dalam perjalanan dari Gilimanuk ke Ketapang. Lima orang dinyatakan hilang, sementara 76 lainnya selamat, sembilan di antaranya menjalani perawatan di Banyuwangi.

KMP Tunu Pratama Jaya menjadi korban terbaru dalam daftar panjang musibah laut. Kapal membawa 65 penumpang dan berangkat dari Ketapang menuju Gilimanuk pada 2 Juli 2025. Saat berada di koordinat -08°09.371′, 114°25.1569′, kapal mengalami black out, terbalik, dan hanyut oleh arus.

Rentetan kecelakaan tersebut memunculkan kekhawatiran dari pengguna jasa penyeberangan. Terlebih, aktivitas penyeberangan Jawa–Bali dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

“Rentetan kecelakaan kapal di Selat Bali seharusnya menjadi bahan evaluasi serius dan mendorong solusi agar insiden serupa tak berulang. Ini bukan satu atau dua kasus, jumlahnya sudah banyak,” tutur Hery, warga Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. (Asr)

About Bintang Tenggara

Check Also

BMKG: Banyuwangi Didominasi Cerah Berawan, Potensi Hujan Ringan di Kawasan Pegunungan

BMKG: Banyuwangi Didominasi Cerah Berawan, Potensi Hujan Ringan di Kawasan Pegunungan

BANYUWANGI, RBT – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan kondisi cuaca di wilayah Banyuwangi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *